Saturday, December 31, 2016

Menyusuri Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia

Indonesia dalam mengembangkan ekonomi syariah menjadi sebuah sistem untuk diaplikasikan pada lembaga keuangan dianggap cukup tertinggal dibandingkan dengan negeri-negeri Asia lainnya. Ketertinggalan tersebut karena berdirinya lembaga keuangan berbasis syariah di Indonesia baru ada pada tahun 1991 yakni dengan hadirnya Bank Muamalat Indonesia. Akan tetapi beroperasinya bank syariah pertama di Indonesia tersebut ialah ditahun 1992 yang pengoperasiannya diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang berdasarkan sistem bagi hasil. UU No. 7 tahun 1992 tersebut bukanlah undang-undang yang secara khusus membahas dengan spesfik akan perbankan syariah melainkan hanya mengatur tentang pengoperasian perbankan syariah yang boleh tidak memakai bunga tetapi memakai sistem bagi hasil.

Selanjutnya pada perkembangannya perbankan syariah di Indonesia mulai menunjukkan kebolehannya saat mampu menahan terpaan krisis ekonomi yang lagi melanda negera-negara di Asia termasuk Indonesia pada tahun 1997 – 1998. Alhasil dari lolosnya bank syariah dalam mengahadapi krisis ekonomi di Indonesia dan pada tahun 1999 sampai dengan 2000 mulailah perbankan syariah melebarkan sayapnya untuk melakukan ekspansi keberbagai daerah dengan membuka kantor cabang. Adapun berkembangnya perbankan syariah pada awal tahun 2000-an tersebut ditandai dengan berdirinya bank-bank syariah baru yang terus bertambah baik dalam bentuk Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah.

Disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa pendirian lembaga keuangan berbasis syariah di Indoonesia dianggap sedikit terlambat dari negara-negara jiran dan Asia lainnya bukanlah dikarenakan tidak adanya upaya dari tokoh-tokoh agama dan ahli ekonomi. Melainkan dari minimnya ketika itu perhatian dari pemerintah untuk membentuk lembaga keuangan syariah terutama disektor perbankan. Apalagi melihat dari negara tetangga kita yakni Malaysia yang pada tahun 1983 secara serius pemerintahnya telah mengatur undang-undang yang membahas secara spesifik tentang perbankan syariah. Dan hasilnya pada tahun yang sama berhasil didirikan bank syariah pertama di negara itu yang bernama Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) (Sutan Remy Sjahdeini: 2014). Disamping itu untuk menyokong majunya perbankan syariah di negara Malaysia dalam dana pihak ketiga itu didominasi dari dana pihak pemerintah yang termasuk didalamnya industri milik pemerintah dan juga lembaga institusi sehingga market sharenya telah menyentuh 20% lebih.

Melihat kembali di Indonesia bahwa dari segi regulasi untuk perbankan syariah tidak serta merta hadir sempurna pada tahun 1992 saat awal mula bank syariah pertama Indonesia beroperasi. Akan tetapi regulasi yang mengatur perbankan syariah mendapat penambahan pada tahun 1998 dengan merevisi UU No. 7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 yang sudah membahas mengenai pengertian bank syariah dan bank perkreditan rakyat syariah. Dan selanjutnya dalam selang waktu 10 tahun baru secara khusus regulasi untuk mengatur perbankan syariah yang diatur dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Disamping itu juga pada kemajuan perbankan syariah tidak hanya dilihat dari sisi pertambahan jumlah aset berupa gedung atau pembukaan kantor cabang baru melainkan juga begitu variasinya akad-akad yang digunakan sesuai peraturan fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Yang mana akad-akad tersebut tidak hanya menggunakan pola bagi hasil saja tetapi ada pola lainnya baik untuk penghimpunan dana dan penyalurannya yaitu pola titipan, pola jual beli, pola sewa, dan lain-lain. Sehingga hal tersebut menjadi penunjang bagi perkembangan bank syariah di Indonesia.

Dan juga bahwa memang pertumbuhan market share perbankan syariah di Indonesia terbilang tertinggal dari negara lain seperti Malaysia yang hanya sekitar 5 %. Akan tetapi menurut Adiwarman Karim dalam dialognya pada acara Kabar Pasar di TV One menyebutkan bahwa perbankan syariah di Indonesia modelnya adalah ritel banking yang pertumbuhannya tidak selalu diukur dengan jumlah aset berupa market share tetapi dari jumlah kantor cabang dan nasabahnya. Dilanjutkan juga bahwa perbankan syariah di Indonesia yang dalam bentuk ritel banking dana pihak ketiga (DPK) hampir keseluruhan berasal dari masyarakat sehingga bila nasabah menabungkan uangnya hari ini di bank syariah dan besoknya diambil lagi akan merepotkan bagi bank untuk meningkatkan market sharenya (13/04/2015).

Apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi syariah yakni Adiwarman Karim tentang pendapatnya pada bank syariah di Indonesia dapat dibandingkan dengan data statistik pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia bila dilihat dari sisi jumlah kantor dan nasabah di perbankan syariah. Menurut data dari OJK pada akhir tahun 2014 terhitung jumlah kantor untuk bank umum syariah secara keseluruhan di Indonesia mencapai 2.151 kantor dari 12 bank umum syariah. Sedangkan untuk jumlah kantor bagi bank konvensional yang membuka unit usaha syariah di kantornya telah mencapai 324 kantor dari 22 jumlah Unit Usaha Syariah di perbankan konvensional.

Disamping itu perbankan syariah dalam menjalankan bisnisnya masih terdapat berbagai hal yang dianggap berbagai pengamat sebagai kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian. Kekurangan tersebut terlihat dari lebih banyaknya perbankan syariah yang menggunakan akad murabahah dalam penyaluran dananya ketimbang memakai akad mudharabah. Hal ini dikritisi oleh M. Dawam Rahardjo yang menyebutkan bahwa hampir 70 % dalam produk penyaluran dana di perbankan syariah memakai akad murabahah dibandingkan dengan akad qardhul hasan yang jumlahnya sangat terbatas untuk masyarakat yang masih miskin dan pengusaha yang pemula (kompas.com/14/02/2014). Lebih banyaknya penggunaan akad murabahah dibandingkan dengan mudharabah ataupun juga akad qardhul hasan dapat dikarenakan perbankan syariah ingin menghindari resiko gagal bayar dari nasabah. Dengan memakai akad murabahah tingkat resiko kehilangan modal dan keuntungan jauh lebih kecil dan penggunaannya lebih sederhana. Sehingga mungkin hal ini melatarbelakangi perbankan syariah yang ada lebih suka memakai akad murabahah bila dibandingkan akad-akad lain yang ada pada produk penyaluran dana perbankan syariah.

Apalagi melihat tujuan dari berdirinya perbankan syariah yang diulas dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk menunjang pelaksaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan raykat. Yang menunjukkan kehadiran perbankan syariah di Indonesia dapat diharapkan terus meningkatkan kemampuannya untuk bisa masuk ke berbagai sektor ekonomi yang selama ini digeluti oleh masyarakat kelas bawah hingga atas. Tentunya dengan berpegang pada prinsip keadilan yang tanpa bunga dalam penjalanan fungsinya untuk bisa menggenjot pertumbuhan dunia usaha dan ekonomi di masyarakat dan menambah market share perbankan syariah.

Sehingga bila dikatakan bahwa secara sederhana pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia terbilang sukses untuk terus berkembang sampai saat ini. Di samping juga masih banyaknya terdapat kekurangan dalam dunia perbankan syariah yang diharapkan akan terus diperbaiki guna bisa mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment